KAU
DAN HUJAN
28
Desember 2015. Awan pekat terlihat dilangit ibu kota. Derai hujan kembali
menguyur kota ini. Dari balik kaca ini aku memperhatikan tiap gerak kehidupan.
Dibawah sana lalu lalang kendaraan yang tak pernah usai hingga pajar tiba. Kulihat
jarum jam menunjuk kearah pukul 16.00 sore. Aku harus segera menemuinya,
meskipun harus menerobos hujan yang tak kunjung reda.
Tiga puluh menit berlalu. Genangan
air semakin membanjiri jalanan, beberapa orang dengan hati-hatinya mengendari
motor, menerobos tiap keruhnya air yang menggenang. Aku sendiri disini, diatas
motor milikku pergi untuk menjemputnya.
“Sell,,,, panggil ku dari kejauhan. “Sella,,
Sambil melambaikan tangan kearahnya
Ia pun melihat kearahku dan
melambaikan tangan
Segera kuberlari kearahnya.
“Ran, kamu gak pakai mantel?” tanya
Sella
“Aku lupa membawanya, tak apakan jika kita berdua berbasah-basahan”
“Iya deh iya”, Ia mengangguk setuju.
Sella ia adalah temanku saat SMA.
Sejak dulu aku telah menyukainya, parasnya, sikapnya, semuanya cukup
menggambarkan siapa ia sebenarnya, dan apa yang membuatku suka pada dirinya. Ia
baik, ia cantik, ia ramah, dan ia peduli. Tapi hingga saat ini tak satupun
perasaan yang dapat aku nyatakan padanya. Memendam dan mencintainya lewat diam.
“Makasih, ya Ran, udah mau mengantar
ku pulang”
“Sell,,, ada yang ingin aku
sampaikan?,
“Iya Ran, didalam aja kita
bicaranya, kamu udah kedinginan”, tawarnya
“Cukup disini Sell, tak banyak yang
ingin aku sampaikan padamu”
Kutatap kedua bola matanya. Dengan
cermat ia menanti setiap kata yang ingin kusampaikan. Gugup bergetar dihati,
harus kumulai dari mana semua ini?. Aku tahu bahwa aku sangat menyukainya, tapi
bibir ini seakan kaku untuk berkata.
“Sell aku menyukaimu, ucapku
seketika.”
Seketika
ia menjadi diam. Kemudian pergi kedalam dan meninggalkanku sendirian.
Terdiam ku disini. Derai hujan
semakin deras terdengar, mengejek setiap kata yang kuucapkan. Dinginya tubuhku
tak lagi kurasa tenggelam bersama kecewa. Apa yang salah denganku? Apa yang salah dengan perasaan ini?
Salahkah jika aku menyukainya? Sesaat seakaan membuatku mengerti tentang
perasaan, tentang apa itu arti dikecewakan.
Dua minggu berlalu, tanpa pesan
darimu. Hubungan kami seakan hanyut bersama rintik hujan hari itu. Semua waktu
dan kenangan yang terlewati seakan terhapus. Sella tahukah kau, aku masih
mengharapkanmu.
Sore itu kukirim pesan singkat
untuknya. Untuk hati dan perasaan yang mengharap maaf darinya. Pesan itupun
berbalas baik darinya, “Ia menginginkan kami menjalani hubungan seperti sedia
kala.
Hari keharipun berlalu, tanpa sadar
kami pun menjadi dekat. Tiap waktu selalu kuluangkan untuknya, berduaan
bersamanya. Satu tahun berlalu sejak hari itu (saat aku menyatakan rasaku
padanya), hubungan kami pun menjadi semakin dekat. Beberapa kali aku pergi
kerumahnya, hingga kedua orang tuanyapun mengenal akrab diriku.
"Sell, tahukah kau perasaan ku
dulu saat rasaku tak mengena dihatimu, saat jiwaku hancur berkeping tak
menentu. Tahukah kau persaanku saat ini? Saat ku berjuang mengumpulkan tiap
keping cinta dihatiku. Membuatnya seolah baik padahal aku masih mengharapkanmu.
Tahukah kau perasaanku selama ini, saat kita pertama kali bertemu? Semua ini
tak akan ada habisnya dan tak akan pernah berubah, tiap pedulimu, tiap sikapmu
seakan mengajaku kembali untuk menikmati setiap cinta dihatimu.” Lamunku
didepan meja kerja.
Teng,, tengg,, (bunyi keras jam
dinding) membangunkan lamunku. Kuhirup segelas kopi yang sudah mendingin.
Sambil melihat kearah jam dinding. Pukul 16.00 sore, kuingat janjiku hari ini
untuk bertemu Sella disebuah cafe dipusat kota.
Hujan turun dengan lebatnya,
terlihat samar dari balik kaca yang memburam terkena percikan hujan. Beberapa
kali suara keras menggeluntur diluar sana, memberi tahu bahwa hujan disore ini
tak akan berahir dengan cepat. Segera kuraih tasku, dan pergi meninggalkan
ruangan itu.
Sore itu hujan turun dengan
lebatnya. Beberapa jalan protokol harus ditutup. Ketinggian air mencapai
pinggang orang dewasa. Lalu lalang kendaraan tampak berjalan pelan melewati
tiap jalanan yang basah.
Didepan sana terlihat seorang wanita
duduk menunggu. Ia tampak menikmati tiap tetesan hujan disore itu.
"Sell,, ucapku menganggetkanya. Maaf
ya! Udah buat kamu lama menunggu".
Segera
kuraih kursi didekatku dan duduk bersamanya.
Hari
berganti malam. Tak terasa dua jam telah berlalu. Kutatap matanya dalam-dalam.
Ia hanya diam dengan senyum kecil diwajahnya. Kuraih tanganya halusnya.
“Selamat ulang tahun Sella untuk yang ke 20 Tahunya” Semoga kedepanya kamu
makin cantik, makin baik, dan makin peduli sama aku”, ucapku sambil memberikan
sebuah hadiah untuknya (pita rambut). Kusematkan pita itu diantara hitam
rambutnya.
“Makasih
ya Ran, atas hadiah nya”, ucapnya gembira.
Hari
itu kami dapat mengobrol sepuasnya, bercerita tentang masa-masa yang telah kami
lalui dahulu, bercerita tentang masalah setahun yang lalu. Dimana saat itu aku
tahu alasan Sella tak memberi jawaban atas rasaku. “Saat itu ia tengah menjalin
hubungan bersama orang lain” “Iya memilih untuk menjaga perasaan dari pada
menyakitku” Hari itu kutahu bahwa Sella sangat menghargai setiap perasaanku.
Derai
hujan diluar sana masih deras terdengar. Mataku menatap tiap indah diwajahnya.
Gerak bibirnya membuat tiap kata terdengar indah ditelingaku. Hanya wajahnya
yang membuatku seakan lupa akan bentuk dunia ini. Tuhan, akankah aku
memilikinya, tanya di hatiku.
Hari itu aku dapat menikmati tiap
cinta yang ia sajikan, parasnya, sikapnya, anggunya menyatu dalam tiap obrolan
sore itu. Aku seakan tak ingin berpisah darinya. Tiap waktu ingin kuhabiskan
untuknya. Satu, dua, bahkkan enam jam aku ingin mengobrol bersamanya.
Menghabiskan tiap rasa yang tersisa, menghabiskan tiap waktu untuknya. Aku
hanya ingin bersamanya, mendekap erat tubuh lemah miliknya.
Didepan rumah Sella. Kuberikan sebuah
surat untuknya. Apa ini Ran?, tanyanya. Itu surat. Surat? Apa isinya, Duit?.
Kamu buka didalam aja deh, pintaku padanya. Ok. Kamu langsung pulang ya?
pintanya.
Hari itu iapun melangkah pergi
meninggalkanku untuk selamanya. Hari itu setelah ia menerima surat dariku,
tiba-tiba ia terjatuh tak sadarkan diri, beberapa dokter pun angkat tangan akan
dirinya. Kudengar dirinya mengidap kanker otak stadium empat. Sudah setahun yang lalu ia bertahan melawan
penyakit itu hingga akhirnya ia harus menutup mata untuk terakhir kalinya.
Tiga hari berlalu. Derai hujan
kembali mengguyur kota ini. Malam itu kuterima
sebuah surat darinya (ibunya yang memberikanya padaku). Surat itu adalah surat
yang ia tulis setahun yang lalu.
“Kutahu matahari bersinar untuk selamanya,
kutahu bulan akan selalu ada untuk malam, kutahu langit tak akan indah tanpa
hadirnya bintang.Tapi semuanya akan menghilang saat mata kita kembali terpejam.
Mungkin tak akan lama aku dapat menatapmu, mungkin kau tak akan kembali lagi
padaku. Kecewa dihatimu kini kurasa, tapi sakit dihatiku jauh berbeda (kau
pergi menjauhiku). Kau mungkin menyesal telah mengenalku, tapi aku tak akan
pernah menyesal mengenalmu. Tahukah kau bahwa aku juga mencintaimu. Meskipun
bibirku tak pernah berkata bahwa kau adalah miliku. (31 Desember 2015) (Sella Cristiana Anggela).
Saat ini lidahku kaku untuk berkata,
mulutku berat untuk berucap. Tubuhku seakan mati diam tak bernyawa. Menatap
selembar kertas yang perlahan membasah. Andai kutahu seberapa berat beban yang
kau pikul, seberapa dalam rasa yang kau punya. Mungkin aku tak akan hancur,
lemah dan kecewa. Tapi satu yang tak tersampaikan. Rasaku terhadapmu. Surat
yang kuberi tak akan pernah engkau baca.
0 Response to "CERPEN - KAU DAN HUJAN"
Posting Komentar