Di tengah hutan rimba, kesepian tak ada yang melihatnya
rumput-rumput liar menyapa langkah kakinya, nyamuk-nyamuk bernyanyi
ditelinganya, cahaya matahari ini menembus celah-celah daun pepohonan yang
melindunginya dalam kegelapan, diatas kayu tua ia melamun sendirian meratapi
kesendirian yang selalu mendatanginya tak ada tempat untuk berkeluh kesah, tak
ada teman melainkan kesepian, terselip sebatang rumput liar diantar kedua gigi
yang kuat itu, senapan tua peninggalan
sang ayah menjadi temannya.
Seekor burung hutan berada diatas pohon tua yang tinggi,
bulu-bulunya yang indah dikibaskan kesana kemari ia bernyanyi dengan lembutnya
suaranya terdengar merdu di belahan hutan, dengan sigapnya pemburu itu
mengacungkan senapan kearahnya, beberapa peluru dimasukan, senapan siap
menembak, Wusshh,, burung itu terjatuh kebawah, dahan kayu tempat ia bertengger
tak dapat menyambut tubuhnya, sayapnya yang kuat tak dapat dikepakan, ia
melayang jatuh kebawah menghantam tanah, diatas daunan kering ia berteriak
kesakitan sayapnya terluka, peluru itu mengenai bagian sayap kirinya.
Dengan terburu-buru pemburu itu
berlari ia mendapati buruannya, seekor burung hutan (perempuan) yang masih
hidup, pemburu itu segera mengambil buruanya membersihkan lukanya, mencabut
peluru dari sayap kirinya, ia membawanya (burung) kesebuah pondok miliknya
(pemburu) di tengah hutan dimana pemburu itu hidup sendirian.
Sebuah sangkar tua tergantung didepan pintu masuk pondok, sudah 2
tahun yang lalu saat ayahnya meninggal dan penghuni sangkar itu pergi
meninggalkan pemiliknya, pemburu itu mengambil air hangat mengusap tubuhnya
(burung) membersihkan darahnya. Sangkar tua itu disulap menjadi sebuah istana
mewah dimana burung itu akan tinggal bersamanya.
Suara yang indah terdengar dari
dalam sangkar setelah 5 hari sejak kejadian itu, ia sepertinya tak lagi marah
terhadap pemburu, ia bernyanyi dengan indahnya, setiap pagi ia bernyanyi,
membasuh bulunya yang indah. Beberapa makanan lezat diberikan sang pemburu
hanya untuk burung itu, buah-buah kesukaan sang burung selalu ada didalam
mangkuk kesayangan, tak perduli seberapa jauh pemburu itu melangkah, beban apa
yang ia pikul, tantangan apa yang akan ia hadapi, ia selalu mencari buah-buahan
itu hanya untuk menyenangkan hati sang burung.
Sepertinya sang pemburu menaruh rasa
sayang teramat dalam terhadapnya (burung), kehidupannya berubah menjadi lebih
berarti ia mempunyai teman yang selalu ada untuknya, ia selalu menjaganya
setiap saat ia merawat rumahnya (burung), ketika pulang dari berburu ia selalu
melihat kearahnya, berucap sendiri, mengadukan apa yang ia dapatkan, dan ia
alami hari ini.
Sudah hampir dua minggu berlalu
sejak sang pemburu merawatnya, pagi ini tak terdengar nyanyianmu, nyanyianmu
yang indah, suaramu yang merdu. Pemburu itu terbangun dengan sendirinya,
dadanya tesentak sakit, matanya memandang tajam keatas, sejenak ia terdiam,
pikiranya kosong, Apa,,,,?,,Appaaa,,,Apaaa,,?, ia merasa kesepian, dipagi ini
perasaan itu kembali menghampirnya, ia segera berdiri berlari keluar membuka
pintu, ia melihat, tubuh sang burung terbujur kaku kakinya kaku
kebelakang, bulu-bulu lebutnya
menghangatkan tubuhnya dalam kedinginan kematian. Tak ada kata sepatah kata
yang terucap dari mulut sang pemburu, ia terdiam meratapi kematian teman yang
ia sayangi, kesepian-kesepian itu kembali menghantuinya, semua yang ia lakukan
seolah tak adil, tak ada kata adil didunia kecil ini, semua kasih sayang harus
ia bayar dengan kematian
Diatas tangga pondok ia terdiam
duduk melamun pikiran kosong, sinar matahari mengalirkan keringatnya membasahi
seluruh tubuhnya, hanya penyesalan yang ia dapati. Sebuah gelang pengenal yang
ia beli disebuah toko burung di pusat desa yang jauh dari hutan, gelang itu
tersimpan rapi didalam sebuah kotak kayu, perasaan yang tertunda membekas dilubuk
hatinya, sebuah penyesalan tak dapat memberikan hadiah itu (gelang burung)
sebelum hari kematianya, sebuah pikiran tertunda ia (pemburu) dapat pergi bersamanya (burung) berburu bersama, melintasi hutan
yang lebat, memakan buah-buahan yang sama, kini itu hanya sebuah pikiran kosong
yang selintas berlalu.
Ia menyesali semua perbuatanya, ia
menyesal telah bertemu dengan sang burung, ia menyesal telah memberikan bekas
luka di sayap kirinya (burung), ia menyesal telah merawatnya, kalau saja pada
waktu itu tuhan melesetkan peluru yang ia tembakan mungkin semuanya tak akan
berahir seperti ini, dan sebuah penyesalan yang mendalam ia tak bisa mengobati
luka disayap kiri itu, luka yang selama ini ia (burung) tanggung, rasa sakit
yang ia derita, membekas hingga kematinya, ia (burung) selalu terlihat ceria,
bernyanyi setiap paginya, menutupi rasa sakit itu dengan bulunya yang indah
hingga kematiannya.
Sering kali rasa sayang itu hadir dalam kehidupan
kita, mengikat kita dalam sebuah hubungan kasih sayang, tapi tak jarang rasa
sayang itu berubah menjadi sebuah penyesalan, berikan yang engkau bisa untuk
orang yang kau cinta, lakukan yang kau tahu hingga kau benar-benar malu, jangan
pernah menuda-nunda rasa itu, dan jangan biarkan rasa itu tertelan waktu. Apakah kau ingin berahir seperti sang
pemburu?
0 Response to "KISAH SANG PEMBURU DAN BURUNG HUTAN"
Posting Komentar