Merah pekat berbau amis membasahi bumi “BUMI PERTIWI” perang tak kunjung padam, senjata-senjata diacungkan, menghunus menembus isi kepala yang keras seperti batu. Kepala yang dipenuhi dengan berjuta ide kotor tersimpan.
Saat manusia saling membela diri masing-masing, melupakan kesepakatan bersama, saat manusia mulai merubah pikiran logisnya dengan tindak kekerasan yang terjadi hanya sebercak darah diseluruh penjuru ibu kota dan bau mesiupun tercium terbawa semilir angin.
Pertiwi menangis ternodai melihat kenyataan melihat anak-anaknya (generasi penerus) merobek gaun indah yang ia kenakan, “Gaun yang indah sepanjang nusantara dari sabang hingga merauke, Gaun yang dihiasi dengan perak-pernik perak serta mutiara dari lautan Indoensia.” Tanpa tau siapa yang mereka nodai, tanpa belas kasihan mereka mengambil semua perhiasaan milik Ibu pertiwi (Kalung, Cincin) mengeruk serta menguras habis kekayaanya hingga tiada lagi yang tersisa, hingga tiada lagi emas dari timur, hingga tiada lagi mutiara dari lautan, hingga tiada lagi perak dari dalam perutnya (Pertiwi), semuanya seolah menghilang begitu saja tertelan waktu yang terus berlalu.
Pertiwi seolah mati tak terdengar jeritan hati, ia terdiam dalam sedih dan dilupakan tanpa tangis, ia bersedih dan berharap sang anak dapat kembali seperti dulu dalam dekapan kasih, ia seakan melupakan kekejian yang mereka lakukan, ia menerima sang anak jika ia ingin kembali, kembali dalam dekapnya, ia menyayangi anaknya tanpa belas kasih, tanpa pilih kasih, dan akan selalu begitu hingga ia benar-benar telah tiada dari muka bumi.
Dan biarkanlah mereka kembali kepada Pertiwi, mengakui bahwa Pertiwi adalah ibu sendiri, menjaganya setiap hari hingga mati. Berikanlah tolerasi terhadap sesama (saudara) jangan pernah membedakan antara satu sama lain karena kita SAMA, ANAK PERTIWI, jangan pernah membuat pembeda, kembalilah lagi dalam dekapku (Pertiwi) buat aku tersenyum kembali setelah luka yang kualami, bangun Bumi Pertiwi ini dengan hati, tolerasi, dan perjuangkan hingga mati.