BUMI
Langkah kakiku terhenti ditengah hutan yang tak kuketahui hutan,
hutan yang lebat dengan pepohonan yang rindang, dedaunan hijau tampak membeku
kedinginan diselimuti embun pagi. Kugoreskan jariku diatas dedaunan itu,
setetes air membasahi jariku, terasa dingin dikulit tanpa kusadar air itu
memberikan energi memberikan nutrisi memberikan kekuatan, kekuatan bagi
pepohonan untuk terus tumbuh menjadi pohon dewasa, sebuah pohon yang memberikan
kerindangan, kesejukan, sebuah pohon yang mampu menentralkan polusi yang
menyerbak dipusat kota, yang beberapa tahun ini membuat kotaku menjadi panas,
bahkan untuk sebuah es krim meleleh dengan kemanisanya dibawah trik matahari
diatas suhu 40 Celcius.
Siapapun pasti tak ingin merasakan hal itu, tapi kenyataan pola
kehidupan terus berputar, nyawa kehidupan manusia tak lagi panjang hanya
beberapa puluh tahun hingga menuju kematiannya. Burung-burung merpati yang
dahulunya sering berkumpul dipusat kota, mematuk-matuk makanan yang diberikan
manusia, kini ia enggan lagi bergaul, berbaur dengan manusia, mereka nampak
benci dengan semua ini, saudara-saudara (merpati) berkurang tiap tahunya, tak
ada lagi tempat bagi mereka, tak ada lagi tempat bagi kerabat mereka, hampir
tak terlihat lagi hewan-hewan ditengah keramaian pusat kota. “DIMANA MEREKA???”
“YA, MEREKA TELAH MENGHILANG, DITELAN PERADABAN MANUSIA, RAGA DAN JIWA MEREKA MENGHILANG DIGANTIKAN,
TEREGURUS GEDUNG-GEDUNG BERTINGKAT YANG TERUS MELUAS DAN MENJULANG KELANGIT. Telingaku
terasa sakit, dan memanas mendengar
celotehan-celotehan hewan-hewan, mereka mengatakan. “HENTIKAN SEMUA INI,
HENTIKAN KETAMAKAN YANG KALIAN LAKUKAN.” “KELAK KAU AKAN MENDAPAT BALASANYA
(SEBUAH LAKNAT DARI TUHAN) SEKETIKA ALAM AKAN MENGHABISKAN APA YANG KALIAN
BANGGAKAN, APA YANG KALIAN BANGUN DAN YANG KALIAN AGUNG-AGUNGKAN, DALAM
SEKETIKA”
Negeri ini kini menjadi negeri yang
sombong dengan perwatakan yang berbeda sejak 60 Thn yang lalu. Ketamakan telah
menyebar luas dipusat kota, kota yang megah dengan berjuta drama sosial yang
manusia perankan. Kota yang selalu mereka agung-agungkan dengan gedung-gedung
tinggi menjulang keatas, didalamnya terdapat puluhan manusia dengan jutaan
karakter. Manusia-manusia telah dihilangkan rasanya (rasa kemanusianya) mereka
saling membunuh, memakan, bahkan menjilat darah segolongan mereka sendiri,
puluhan orang disepanjang jalanan kota dengan pakaian yang kumal nan usang
terlihat memenuhi bola mataku, seorang budak menanti manjikanya pulang dengan
gaun indah, bibir yang memerah dan semerbak parfume kelas atas.
Kota ini telah rusak dan busuk dipenuhi drama sosisal dan
peperangan sesama kaum manusia, tanpa rasa kasihan mereka saling menindas.
Puluhan orang memiliki pekerjaan sebagai pesuruh, pesuruh elit dengan dasi, dan
jass, (pesuruh kaum materalis), pekerjaan mereka adalah membunuh para
penghalang kekuasaan kaum materalis, membunuh dengan mengambil keutungan dari
sesama mereka, mereka lebih buruk jika dibandingkan dengan mereka dipinggiran jalan kota dengan pakaian yang
kumal nan lusuh dengan semangkuk uang receh ditanganya. Mereka saling menjilat
dan menghisap manisan bunga, hingga bunga itu menjadi layu dan mati.
Udara dingin menghampiriku membuat
bulu-bulu kecil merunduk bersembunyi dibalik mantel hitam milikku. Angin pagi ini
berhembus membawa embun bertiup menerpa tubuhku, gumpalan embun pagi diantara pepohonan
mengudara. Alasanku pergi ketempat ini adalah kemunafiqan dan ketamkan kota
yang semakin dingin. Pepohonan hijau dalam pandangan membuat jiwa tenang,
melepaskan apa yang terjadi, apa yang pernah terekam dalam memori otakku.
Medongak keatas merasakan sejuk udara dipagi hari, selintas ingatan itu
kembali?. Dahulu aku tak seperti ini, Kesepian. Banyak diantara mereka
(teman-teman) yang kumiliki, terasa senang saat mereka bertanya akan tugas
sekolah, terasa tenang saat berbagi bersama mereka, tapi kini mereka berubah
menjadi manusia yang dingin dengan pedang lidah dalam genggamanya, mereka siap
menebas, dan menghunuskan pedang itu, pedang yang bermaterikan cemo’ohan dan
hinaan yang meruncing menajam kedepan.
Puluhan luka tebasan membekas ditubuhku berbalut matel hitam
milikku. Aku tak pernah menyalahkan mereka, karena ini bukan diri mereka
sebenarnya, ini hanyalah bagian lain dari diri mereka, diri mereka yang
terbentuk dalam proses perkembangan kota yang dipenuhi ketamakan. Ketika
luka-luka ini mulai mengering akan datang diantara mereka dan menebaskan
kembali pedang-pedang itu, hingga luka ini semakin bertambah dan membuat diriku
tak mampu tuk berdiri.
Dahulu kasih sayang dan
cinta masih bisa kurasakan, kasih sayang dari keluarga yang sangat kucintai,
yang sekejap menghilang dalam riuhnya kota, kedua orang tuaku berpisah, saat
sang budak (pembantu) menyambut ayahku dengan gaun yang indah dan semerbak
parfume kaum atas. Ibuku memilih pergi meninggalkan rumah dan ayahku memlilih
berbagi kasih sayang bersama keluarga barunya. Hanya kesepian yang kurasakan
terkurung didalam penjara putih nan mengah ini (rumah mewah), seakan ingin lari
dan pergi dari tempat ini, satu kata yang membuatku bertahan hingga saat ini,
yaitu: BISIKAN TERAHIR IBUKU. Kini semuanya telah menghilang hanya
ingatan-ingatan kecil yang melekat diotakku, hingga semuanya pergi dan
menghilang.
Aku berada ditengah hutan yang tak
kuketahui, hutan yang lebat, yang dipenuhi rerumputan liar, suara burung mengisi
pagi ini, terdengar keras ditelinga. Arah yang belum kuketahui untuk
melanjutkan langkah ini, hanya terdiam disuatu tempat. Entah kemana langkah ini
akan membawaku, aku telah meninggalkan penjara megah itu, hal yang membuat
tubuh ini lesu dengan semua kenyataan. Sekelilingku dipenuhi dengan
rumput-rumput liar yang tinggi hingga pinggang,
jalan tak terlihat didepan sana tertutupi rerumputan liar, jalan yang
harus dilalui, berharap didepan sana menemui surga seperti yang sering disebut
orang-orang, bukan surga orang-orang yang suka dengan kekayaan dunia, bukan
surga dengan gedung-gedung tinggi, dan beberapa tempat hiburan didalamnya, Tapi
surga dalam khayal yang membawa pada ketenangan emosi.
Rumput-rumput liar menjulang
kelangit, membatasi penglihatan. Langkah kaki menyentuh rerumputan yang lembab.
Langkah baru yang dipilih untuk melaju kedepan. Keraguan tak boleh ada dalam
diriku, yang akan membuat langkahku terhenti, “didepan sana akan ada surga yang
kukhayalakan” hanya sedikit memberi uap semangat pada tubuh ini, memori masa
lalu tak boleh terhapus dan tak boleh berputar kembali dalam bentuk rekaman
diotakku, hanya sebagai tempat untuk mengingat dan menguatkan tekad ini. Dua
langkah kedepan menerobos masuk kedalam hutan semak belukar, terus berjalan kedepan,
meninggalkan keramaian kota, membuka masa depan yang belum pasti, satu kata
dalam diri ini TERBUANG DAN TERABAIKAN, MEMILIH JALAN DAN GAGAL, ATAU MENANG
SEBAGAI PECUNDANG, merunduk, merobos masuk kedalam tanpa ragu.
“BUMIIIIII,,,,, teriakan panjang
terdengar samar ditelingaku, memanggil nama kecilku”
Ya namaku adalah “BUMI” seorang
remaja umur +-17 Thn, seorang remaja yang keluarganya berpisah, seorang remaja
yang hidup dan berkembang dalam lingkungan yang modern, yang dipenuhi dengan
berbagai cemo’ah, dan hinaan, seorang remaja yang hampir mati karena menjadi
korban pembullyan. Pertengkaran, kecemburuan, pembunuhan, hingga ketamakan
merupakan pemandangan sosial yang terekam jelas dalam lensa mata sejak hari
hari pertama kali aku mengenal Bumi.
***
0 Response to "BUMI"
Posting Komentar